Jelaskan pengertian Pancasila sebagai sistem aksiologi

  Landasan Aksiologis Pancasila

Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.
Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan.
Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek. Ada berbagai macam teori tentang nilai.
1. Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
d. Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)
2. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan kelompok:
a. Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
b. Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
c. Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
d. Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
e. Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.

f. Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
g. Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
h. Nilai-nilai keagamaan
3. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:
a. Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
b. Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi empat macam:
1) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
2) Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia.
3) Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia.
4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
4. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
a. Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
b. Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
c. Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
5. Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.
6. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
7. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia

Pengertian Aksiologi


Istilah Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran atau ilmu. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisiska suatu nilai. Nilai (value dalam bahasa inggris) berasal dari bahasa Latin valere yang artinya kuat, baik, dan berharga. Dalam kajian filsafat nerujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna, nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan, nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. 


Dasar Aksiologis (nilai) sila-sila pancasila


Sila-sila pancasila sebagai suatu sistem filsafat yang juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material. Kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia, hal ini bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.


Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak pandangan tentang nilai terutama dalam menggolongkan nilai dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut pandangnya msing-masing.


Max Scheler misalnya mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bila mana dibandingkan satu dangan yang lainnya. Sejalan denga pandangan tersebut, Notonagoro merinci nilai disamping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang bersifat material dan non material. Dalam hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada sekelompok orang berdasarkan pada orientasi pada nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang non material. Bahkan sesuatu yang non material itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur yaitu menggunakan indra maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indra manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta keyakinan manusia.


Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai pancasila termasuk nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarkis, dimana silapertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya.

Landasan Aksiologis Pancasila

merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu tidak ada untuk dirinya

sendiri, ia membutuhkan pengemban untuk berada Mari perhatikan beberapa contoh pernyataan sebagai berikut:

a. Berapa nilai pertandingan antara Persipura melawan Persib?

b. Berapa nilai sepeda motor Honda yang dipakainya itu?

c. Berapa nilai IPK yang Anda peroleh semester ini?

d. Lukisan Afandi dikatakan bersifat ekspresionis karena di situlah letak nilai

keindahannya.

Istilah nilai yang digunakan dalam pernyataan tersebut bukan mengacu pada

makna nilai (value) dalam arti filosofis, melainkan lebih mengacu pada arti skor

(a), harga

(b), dan angka atau grade 

(c). Nilai (value) lebih mengacu pada

kualitas yang bersifat abstrak, yang melekat pada suatu objek, sebagaimanaang tercermin pada contoh pernyataan butir 

(d).Littlejohn and Foss mengatakan bahwa aksiologi merupakan cabang filosofiyang berhubungan dengan penelitian tentang nilai-nilai. Salah satu masalah

penting dalam aksiologi yang ditengarai Littlejohn and Foss, yaitu: dapatkah teori bebas dari nilai? (Littlejohn and Foss, 2008: 27--28). Problem apakahteori atau ilmu itu dapat bebas dari nilai, memiliki pengikut yang kuat dalam kubu positivisme. Pengikut positivis meyakini bahwa teori dan ilmu harus bebas nilai untuk menjaga semangat objektivitas ilmiah. Namun, perlu disadari bahwa tidak semua aspek kehidupan manusia dapat diukur secara “ilmiah”

menurut perspektif positivistik karena banyak aspek kehidupan manusia ini

yang mengandung muatan makna dan bernilai tinggi ketika dihadapkan pada

masalah-masalah yang berdimensi spiritual, ideologis, dan kepercayaan

lainnya. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mengandung berbagai

dimensi kehidupan manusia, seperti spiritualitas, kemanusiaan, solidaritas,

musyawarah, dan keadilan. Kelima sila tersebut mengandung dimensi nilai

yang “tidak terukur” sehingga ukuran “ilmiah” positivistik atas kelima sila

tersebut sama halnya dengan mematikan denyut nadi kehidupan atau

memekanisasikan Pancasila. Pancasila justru merupakan sumber nilai yang

memberi aspirasi bagi rakyat Indonesia untuk memahami hidup berbangsa

dan bernegara secara utuh. Pancasila sebagai sumber nilai bagi bangsa

Indonesia seharusnya dikembangkan tidak hanya dalam kehidupan

bernegara, tetapi juga dalam bidang akademis sehingga teori ilmiah yang

diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berorientasi pada nilai-nlai

Pancasila tersebut. Dunia akademis tidak berkembang dalam ruang hampa

nilai sebab semangat akademis harus berisikan nilai spiritualitas untuk menggugah kesadaran tentang pentingnya keyakinan kepada Sang Pencipta 

sebagai pendorong dan pembangkit motivasi kegiatan ilmiah.

Landasan aksiologis Pancasila artinya nilai atau kualitas yang terkandung 

dalam sila-sila Pancasila. Sila pertama mengandung kualitas monoteis, 

spiritual, kekudusan, dan sakral. Sila kemanusiaan mengandung nilai 

martabat, harga diri, kebebasan, dan tanggung jawab. Sila persatuan 

mengandung nilai solidaritas dan kesetiakawanan. Sila keempat mengandung 

nilai demokrasi, musyawarah, mufakat, dan berjiwa besar. Sila keadilan 

mengandung nilai kepedulian dan gotong royong.

Komentar

Popular

penemuan drone Asing di Indonesia || di duga milik cina

Apakah itu vaksin

kromosom