Pancasila sebagai sistem etika

        Pengertian Etika

Pernahkah Anda mendengar istilah “etika”? Kalaupun Anda pernah 

mendengar istilah tersebut, tahukah Anda apa artinya? Istilah “etika” berasal 

dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang 

rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. 

Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa 

dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan 

dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri 

seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan 

diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika 

sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang 

membahas tentang kriteria baik dan buruk (Bertens, 1997: 4--6). Etika pada 

umumnya dimengerti sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu

yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku 

manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya itu kerap kali 

disebut moralitas atau etika (Sastrapratedja, 2002: 81).

Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan tentang 

etika, pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai (baik atau buruk). 

Apakah yang Anda ketahui tentang nilai? Frondizi menerangkan bahwa nilai 

merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu tidak ada untuk dirinya 

sendiri, nilai membutuhkan pengemban untuk berada (2001:7). Misalnya,

nilai kejujuran melekat pada sikap dan kepribadian seseorang. Istilah nilai 

mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan 

bahwa paling tidak ada enam pengertian nilai dalam penggunaan secara 

umum, yaitu sebagai berikut:

1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.

2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau 

pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang

3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang

sebagai pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan

diri.

4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang

baik di antara berbagai kemungkinan tindakan.

5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika

bertingkah laku bagi dirinya dan orang lain.

6. Suatu ”objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang

sekaligus membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian

seseorang. Objek nilai mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek

yang disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri.

(Lacey, 1999: 23).

Dengan demikian, nilai sebagaimana pengertian butir kelima (5), yaitu

sebagai standar fundamental yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam

bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk mengukur karakter

seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang diterapkan

seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya

dapat dikategorikan etis atau tidak.

Namun, tahukah Anda bahwa dalam bahasa pergaulan orang acap kali

mencampuradukkan istilah “etika” dan “etiket”? Padahal, keduanya

mengandung perbedaan makna yang hakiki. Etika berarti moral, sedangkan

etiket lebih mengacu pada pengertian sopan santun, adat istiadat. Jika dilihat

dari asal usul katanya, etika berasal dari kata “ethos”, sedangkan etiket

berasal dari kata “etiquette”. Keduanya memang mengatur perilaku manusia

secara normatif.tetapi Etika lebih mengacu ke filsafat moral yang merupakan

kajian kritis tentang baik dan buruk, sedangkan etiket mengacu kepada cara

yang tepat, yang diharapkan, serta ditentukan dalam suatu komunitas

tertentu. Contoh, mencuri termasuk pelanggaran moral, tidak penting

apakah dia mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri. Etiket, misalnya

terkait dengan tata cara berperilaku dalam pergaulan, seperti makan dengan

tangan kanan dianggap lebih sopan atau beretiket (Bertens, 1997: 9).

Anda dipersilakan untuk mencermati gambar berikut dan diminta untuk

membedakan persoalan etika, persoalan etiket, dan kode etik profesi.

        Aliran-aliran Etika

Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika

keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan

adalah teori yang mempelajari keutamaan (virtue), artinya mempelajari

tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini

mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan

pada What should I be?, atau “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”.

Beberapa watak yang terkandung dalam nilai keutamaan adalah baik hati,

ksatriya, belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar, percaya

diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani, santun, jujur,

terampil, adil, setia, ugahari (bersahaja), disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan

toleran (Mudhofir, 2009: 216--219). Orang yang memelihara metabolisme

tubuh untuk mendapatkan kesehatan yang prima juga dapat dikatakan

sebagai bentuk penguasaan diri dan disiplin, sebagaimana nasihat

Hippocrates berikut ini.

Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral

menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan

kewajiban. Seseorang yang mungkin berniat sangat baik atau mengikuti asas￾asas moral yang tertinggi, akan tetapi hasil tindakan moral itu berbahaya atau

jelek, maka tindakan tersebut dinilai secara moral sebagai tindakan yang tidak

etis. Etika teleologis ini menganggap nilai moral dari suatu tindakan dinilai

berdasarkan pada efektivitas tindakan tersebut dalam mencapai tujuannya.

Etika teleologis ini juga menganggap bahwa di dalamnya kebenaran dan

kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang diinginkan

(Mudhofir, 2009: 214). Aliran-aliran etika teleologis, meliputi eudaemonisme,

hedonisme, utilitarianisme.

Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban

moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau

akibat. Kewajiban moral bertalian dengan kewajiban yang seharusnya,

kebenaran moral atau kelayakan, kepatutan. Kewajiban moral mengandung

kemestian untuk melakukan tindakan. Pertimbangan tentang kewajiban

moral lebih diutamakan daripada pertimbangan tentang nilai moral. Konsep￾konsep nilai moral (yang baik) dapat didefinisikan berdasarkan pada kewajiban

moral atau kelayakan rasional yang tidak dapat diturunkan dalam arti tidak

dapat dianalisis (Mudhofir, 2009: 141). 

       Etika Pancasila

Setelah Anda mendapat gambaran tentang pengertian etika dan aliran etika,

maka selanjutnya perlu dirumuskan pengertian etika Pancasila, dan aliran

yang lebih sesuai dengan etika Pancasila. Etika Pancasila adalah cabang

filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh

karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan,

kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut

membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya.

Sila ketuhanan mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang

mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai

agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanus,

artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan

kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila persatuan

mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), cinta tanah

air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang

lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak

kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas

nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain.

Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika

kebajikan, meskipun corak kedua mainstream yang lain, deontologis dan

teleologis termuat pula di dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan

karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu

kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan

artinya melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh kehendak yang

tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal – rasa – kehendak yang

berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan

memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius.

Kesederhaaan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam

hal kenikmatan. Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui

batas dalam menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai

rasa wajib kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait

dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386). 

         Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang

dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut. Pertama, banyaknya kasus korupsi

yang melanda negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi

kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, masih terjadinya aksi terorisme

yang mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat toleransi

dalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat

persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa. Ketiga, masih terjadinya

pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara, seperti:

kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, pada

tahun 2013 yang lalu. Keempat, kesenjangan antara kelompok masyarakat

kaya dan miskin masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia. Kelima,

ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia,

seperti putusan bebas bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia

Schapell Corby. Keenam, banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan benar, seperti kasus penggelapan pajak oleh

perusahaan, kasus panama papers yang menghindari atau mengurangi

pembayaran pajak. Kesemuanya itu memperlihatkan pentingnya dan

mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena

dapat menjadi tuntunan atau sebagai Leading Principle bagi warga negara

untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Etika Pancasila diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara sebab berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang hidup. Namun,

diperlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai-nilai moral yang hidup tersebut

agar tidak terjebak ke dalam pandangan yang bersifat mitos. Misalnya, korupsi

terjadi lantaran seorang pejabat diberi hadiah oleh seseorang yang

memerlukan bantuan atau jasa si pejabat agar urusannya lancar. Si pejabat

menerima hadiah tanpa memikirkan alasan orang tersebut memberikan

hadiah. Demikian pula halnya dengan masyarakat yang menerima sesuatu

dalam konteks politik sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk suap,

seperti contoh beriku

Komentar

Popular

penemuan drone Asing di Indonesia || di duga milik cina

Apakah itu vaksin

kromosom